Modernis.co, Malang – Berdasarkan tulisan berjudul The Beginning of the Philosophy[1] yang ditulis oleh orang yang ahlinya makan dan jagonya tidur, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa mitos merupakan kebenaran yang datang dari luar diri manusia yang sifatnya meyakinkan manusia begitu saja. Pada tulisan tersebut pula ditunjukkan bahwa terdapat segelintir orang[2] yang mencoba menguji kebenaran mitos dengan menggunakan bekal yang telah dimiliki manusia sejak lahir, yakni akal[3].
Pengaruh dari segelintir orang tersebut memiliki pengaruh yang sangat hebat, yaitu membudayakan kebiasaan berpikir, yang hingga kini, berkat perlawanan mereka kepada sesuatu yang bersifat datang dari luar diri menjadikan kita saat ini sebagai para akademisi. Tak dapat dipungkiri bahwa Allah secara bijaksana telah membekali manusia dengan akal[4], bukan digunakan untuk melawan-Nya, melainkan untuk membuat sebuah kemajuan yang berarti pada peradaban manusia itu sendiri.
Para manusia awal yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya ialah orang-orang yang memiliki sifat yang kritis. Sifat atau kemampuan kritis ialah sifat atau kemampuan yang secara alamiah dimiliki manusia sejak awal. Kritis merupakan perilaku atau tindakan dalam rangka penyesuaian[5]. Hal tersebut bisa kita lihat pada anak yang berusia belia. Anak usia belia sering kali mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada orang yang lebih dewasa, yang dia anggap lebih mengerti karena hidup lebih lama di dunia, berupa pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang berada di sekelilingnya.
Itulah sifat dan kemampuan alamiah yang dimiliki manusia sejak awal. Anak yang berusia belia[6], yang baru saja hidup di dunia, secara alamiah menunjukkan perilaku atau tindakan kritis berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hal tersebut terjadi tidak lain karena ia sedang mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut juga tidak akan terjadi apabila komunikasi anak dan orangtuanya tidak berjalan dengan baik. Kritis, sebagaimana kita pahami di sini adalah sebuah sifat atau kemampuan, yang sejatinya, merupakan karakter bawaan manusia[7].
Sebuah kendala terjadi, orangtua sering kali tidak tahan dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan filosofis yang diajukan oleh sang anak yang belia. Sayang sekali padahal sebuah komunikasi telah terjalin dengan baik, namun karena bodohnya orangtua-orangtua[8] justru menekan nalar kritis tersebut hingga level membunuhnya. Hal ini terjadi karena sesuai dengan definisi orang bodoh itu sendiri.
Orang bodoh ialah orang yang mampu membuat orang lain menjadi bodoh, termasuk anaknya sendiri. Di lain pihak, pendidikan juga berperan penting sebagai kepanjangtanganan dari orangtua. Pendidikan saat ini menekan nalar kritis anak didik. Kritis dianggap sebagai tindakan kurang ajar melawan guru dan kreativitas dianggap sebagai penyelewengan yang bersifat melanggar apa yang sudah digariskan[9].
Inilah faktor utama yang menghambat Indonesia menuju negara yang berkemajuan. Setelah melihat sang guru besar mati karena sistem yang demokratis, Plato dalam masterpiece-nya[10] menentang sistem negara demokrasi dan menyatakan bahwa negara yang ideal ialah negara yang dikepalai oleh seorang filosof. Mengapa demikian? Karena seorang filosof ialah pihak-pihak atau agen-agen yang melakukan penyesuaian. Dengan demikian, sebuah negara akan senantiasa mengalami dinamisasi menuju kemajuan.
Kurangnya sumber daya manusia yang kritis inilah musuh utama Indonesia yang bermartabat. Jika orang yang kritis seperti Sokrates berakhir dengan hukuman meminum racun dalam sistem demokratis[11], maka anak-anak yang berusia belia telah mengalami penghakiman dan hukumannya di rumahnya sendiri oleh dan dari orangtua mereka sendiri, tentunya secara demokratis pula[12]. Itulah mengapa Indonesia belum bisa menjadi negara yang ideal seperti yang digambarkan oleh Plato[13].
Manusia selevel Muhammad ad-Darwis[14] telah memberikan teladan berupa perilaku atau tindakan kritis. Lebih parah hebatnya, beliau menyatalaksanakannya berlandaskan dorongan Wahyu[15]. Perilaku atau tindakan kritis yang dilakukan beliau ialah melakukan penyesuaian Islam terhadap zaman pada saat itu. Sebagai seorang pelaku dagang, Muhammad ad-Darwis memiliki banyak jaringan dari berbagai macam latar belakang golongan, sehingga dengan demikian, beliau mengetahui banyak informasi terkait kondisi masyarakat Islam Indonesia.
Masyarakat Islam Indonesia sedang mengalami kemunduran karena banyaknya mitos[16]. Sebagai seorang yang kritis bagai filosof[17], begitulah saya menyebutnya, Muhammad ad-Darwis melakukan suatu praktik penyesuaian. Praktik penyesuaian yang beliau usahakan kian terorganisir dan kini kita mengenalnya sebagai Muhammadiyah.
Siapa pun yang pernah baca dan mengetahui negara ideal dari Plato[18] pasti akan menyadari bahwa negara semacam itu merupakan model negara yang terbaik. Indonesia sebenarnya dirancang secara Pancasila[19] sebagai negara ideal dari Plato, yakni negara yang dipimpin oleh seorang filosof[20]. Sila ke-4 Pancasila secara jelas menyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.”.
Sehingga sudah sangat jelas sekali bahwa rakyat dalam suatu negara itu haruslah dipimpin oleh seseorang yang memiliki hikmah[21] dan kebijaksanaan[22]. Orang yang meraih hikmah dan kebijaksanaan tidak lain dan tidak bukan ialah seorang filosof dan filosof itu memutuskan perkara melalui musyawarah[23] serta menjadi wakil dari rakyatnya. Inilah Indonesia, inilah negara ideal itu. Terlepas dari hipotesis[24] bahwa Indonesia ialah Atlantis yang hancur dalam waktu semalam saja pada Timeaus dan Critias, entah dari mana Indonesia mengetahui gagasan negara ideal tersebut. Dugaan sementara dari saya ialah bahwa bung Hatta memiliki segudang pengetahuan yang besar terkait filsafat Yunani[25]. Dan beliau adalah orang yang senantiasa terlihat di mana pun Soekarno berada, sebagai wakil presiden.
Sebagai negara demokrasi, rakyat Indonesia seharusnya memiliki hak yang sama dalam menyampaikan suara. Hal yang sama terjadi pada Athena pada era pergerakan Sokrates. Pada era tersebut, Athena mengalami perubahan sistem pemerintahan dari sebelumnya yang oligarki menjadi demokrasi. Oleh karena itu, terbukalah peluang atau kesempatan bersuara yang lebar. Rakyat Athena kemudian lebih bebas dalam membuat forum, diskusi dan debat di mana pun dan oleh siapa pun.
Selain sebagai faktor yang mengakhiri era filsafat alam, perubahan sistem menjadi demokrasi seperti ini menciptakan banyak tokoh dari para Sofis (golongan Cendekiawan) dan seorang Sokrates. Tokoh-tokoh itu lahir karena kebutuhan akan pendidikan semakin tinggi. Rakyat Athena telah diberikan kebebasan dalam bersuara, maka dari itu mereka haruslah berisi[26] (cerdas).
Negara demokrasi bisa menikmati sebuah demokrasi apabila rakyat yang ia naungi itu cerdas sehingga mampu memberikan suara dan menyampaikan aspirasi. Pada konteks Indonesia, Indonesia sudah menerapkan demokrasi namun rakyatnya belumlah cerdas. Itulah masalahnya.
Indonesia telah berada pada tahun ke-72 kemerdekaannya, setidaknya saat tulisan ini ditulis. Namun banyak sekali para aktivis dari kalangan mahasiswa sedunia dan seakhirat yang menyatakan bahwa Indonesia belum merdeka. Mereka berargumen bahwa masih banyak ketimpangan-ketimpangan dalam sosial-politik, ekonomi dan hukum serta pendidikan. Saya secara pribadi sepakat dengan data-data yang diajukan oleh para aktivis dari kalangan mahasiswa tersebut, karena itulah yang terjadi sehingga menjadi fakta.
Namun saya membaca adanya ketidakcocokan antara premis-premis yang ada. Premis yang pertama ialah bahwa Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Premis yang kedua ialah data-data yang diajukan oleh para aktivis dari kalangan mahasiswa soal ketimpangan sosial-politik, ekonomi dan hukum serta pendidikan. Lalu ditarik kesimpulan bahwa Indonesia belumlah merdeka.
Adanya ketidakcocokan antara premis pertama dan premis kedua inilah yang menjadi kegundahan saya. Hal tersebut menjadi sebuah fallacy[27] dan merupakan tindakan yang terburu-buru mengambil kesimpulan. Hal ini akan sangat berbahaya apabila dibiarkan karena akan mempengaruhi pola pikir mahasiswa.
Menurut saya, adanya banyak ketimpangan-ketimpangan tersebut pada premis kedua bukanlah indikasi Indonesia belum merdeka. Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, itu sudah sangat jelas mengingat Indonesia sudah diakui oleh negara lain[28] sebagai negara yang berdaulat setelahnya.
Sepertinya telah terjadi penyempitan makna dari kata merdeka. Jika dahulu merdeka ialah terbebasnya negara dari penjajahan kolonial Barat, maka pada hari ini kata merdeka seolah memberikan makna dalam hal yang lain, yang lebih sempit dari makna sebelumnya. Merdeka diartikan sebagai kondisi negara yang sejahtera. Negara merdeka haruslah terbebas dari berbagai ketimpangan-ketimpangan dalam berbagai aspek. Entah disebabkan karena kurangnya pembahasan atau disebabkan perjuangan mahasiswa harus tidak boleh berakhir, makna merdeka seolah harus disempitkan.
Oleh karena itu muncullah berbagai isu-isu yang dijadikan para aktivis mahasiswa sebagai bahan pergerakan dan perjuangan mereka. Perjuangan mahasiswa memang harus tidak berhenti, namun upaya menyempitkan makna dari kata merdeka[29] yang ditarik dari dua premis yang tidak memiliki hubungan sebab akibat inilah yang saya coba meluruskannya.
Pertama, pada paragraf ini akan kita kuak mengapa seseorang yang sakit memiliki banyak keterbatasan. Anda pasti pernah mengalami sakit dan pasti setidaknya hak kebebasan anda untuk pergi ke kamar mandi saja terasa direnggut. Maka dari itu untuk menggapai kesembuhan atas sakit tersebut anda harus mengikuti beberapa peraturan semacam istirahat yang cukup, selektif dalam mengonsumsi makanan dan meminum obat-obatan pada waktu tertentu.
Dengan mengikuti beberapa peraturan tersebut anda akan meraih kondisi sehat, sehingga anda bisa bebas kembali. Jangankan untuk pergi ke kamar mandi, mendaki gunung dan berenang di laut pun anda bisa bebas berbuat. Namun pertanyaan kemudian timbul, sejauh mana kebebasan itu bebas? Apabila orang tersebut memaknai kebebasan dari kondisi sehat itu sebagai kebebasan mutlak, maka ia akan memakan makanan yang menyebabkan ia sakit sehingga ia akan sakit lagi. Kondisi tersebut akan berputar terus menerus dan akan menyebabkan manusia kehilangan makna dari kebebasan itu sendiri.
Perumpamaan di atas menunjukkan bahwa keterbatasan menciptakan kebebasan. Dengan adanya batasan-batasan berupa aturan yang harus ditaati oleh orang yang sedang sakit membuat orang tersebut bisa sehat kembali, di mana sehat di sini diartikan ia bisa bebas. Namun permasalahan baru akan dihadapi pada mereka yang berhasil meraih kebebasan tersebut, bahwa sejauh mana ia bisa bebas?
Kedua, untuk menjawab pertanyaan di atas sejauh yang bisa saya ajukan ialah orang yang sehat seharusnya masih memiliki aturan yang harus ia taati agar dapat mempertahankan kebebasan yang sedang ia jalani. Yakni dengan mencegah diri dari mengonsumsi makanan atau minuman atau bahkan kebiasaan yang bisa membuatnya jatuh sakit kembali. Dari sinilah saya simpulkan bahwa kebebasan bisa dipertahankan dengan adanya hukum yang ditaati. Dan pula bahwa kebebasan tidak bisa diraih dengan menghapus hukum. Hukum atau aturan (fikih di dalam Islam) ialah seperangkat sistem yang bertujuan untuk menciptakan kebebasan, bukan sebagai alat perenggut kebebasan manusia.
Kemerdekaan ialah kebebasan yang diraih oleh sebuah bangsa agar ia dapat menentukan nasib sendiri (berdiri sendiri). Tentunya sebuah bangsa akan dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan, yang dalam konteks ini, dari para penjajah kolonial. Setelah sebuah bangsa mendapatkan kemerdekaannya, maka seperti pada perumpamaan sejauh mana kemerdekaan itu disebut merdeka? Seperti sejauh mana kebebasan itu disebut bebas? Ketika sebuah kebebasan atau kemerdekaan dimaknai secara mutlak maka bukankah menjadi suatu kewajaran apabila pada kemudian hari sebuah bangsa akan menghadapi banyak keterbatasan, dalam konteks ini, karena akibat ulahnya sendiri.
Terjadinya banyak ketimpangan-ketimpangan di Indonesia dari segi aspek sosial-politik, ekonomi dan pendidikan serta hukum disebabkan oleh karena bangsa ini memaknai kebebasan dari kemerdekaan yang mereka raih sebagai makna yang mutlak. Padahal mereka pada saat yang sama haruslah menaati aturan. Kasus korupsi yang terjadi di dalam birokrasi pemerintahan bangsa ini terjadi karena mereka, para pejabat yang bebas memegang uang rakyat, memaknai kebebasan yang melekat pada diri mereka sebagai kebebasan mutlak.
Oleh karena itu tak heran apabila terjadi praktik korupsi[30]. Begitu pula dengan berbagai ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada bangsa ini bisa dijelaskan dengan cara yang sama. Sehingga bisa disimpulkan bahwa, Indonesia mengalami banyak permasalahan bukan karena Indonesia belum merdeka, namun justru karena sudah merdeka.
Indonesia akan hancur apabila kebebasan atau kemerdekaan pada negara ini disalahgunakan. Sebuah kebebasan dalam arti merdeka diraih dengan tidak mudah. Di sisi lain melihat apa yang dimiliki oleh negara ini, apabila kita melihat Pancasila, selain Indonesia tampil sebagai negara ideal dari Plato, masih terdapat empat sila yang lain. Ini menunjukkan bahwa Indonesia melebihi negara ideal yang ditawarkan Plato. Karena tak hanya rakyat yang harus dipimpin oleh seorang filosof, namun negara ini juga harus tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa.
Negara Indonesia juga sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan adab-adabnya (peradaban). Selain itu negara ini haruslah bersatu pada satu dasar yang sama agar mampu mempertahankan keberbagaian[31] yang ada di dalamnya. Sehingga menghasilkan keadilan sosial yang menjadi hak dan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang telah melampaui negara ideal yang ditawarkan Plato.
Dengan mengikuti dan mengoptimalkan apa yang sudah ada tersebut maka Indonesia bisa dipastikan akan menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya, yakni kemerdekaan yang masih berpegang teguh pada aturan bukan kemerdekaan yang mutlak tanpa aturan sehingga kemerdekaan disalahgunakan.
Selain menyalahgunakan kebebasan, dosa lain bangsa ini adalah menodai demokrasi. Selain negara demokrasi yang berisi rakyat yang belum cerdas, di mana semua pendidikan Indonesia sama tidak bermutunya, demokrasi dijadikan sebagai alat untuk melakukan pratik suap atau politik uang. Sistem demokrasi melibatkan rakyat untuk pemilihan suara. Suara terbanyak akan menentukan siapa yang akan menduduki kursi jabatan.
Karena melibatkan rakyat melalui sistem demokrasi maka di sana terbuka peluang untuk melakukan praktik politik uang. Sehingga para calon pejabat dengan menyuap rakyat ia bisa meraih keberhasilan politik. Suap terhadap rakyat tidak akan bisa dilakukan jika sistemnya tidak melibatkan rakyat, yakni sistem demokrasi.
Secara nyata, demokrasi yang masih seumur jagung ini[32], merupakan sistem yang menyerang balik Indonesia secara negatif. Indonesia akan mengalami dinamisasi menuju kemajuan dengan sistem demokrasi yang berjalan sehat. Demokrasi yang berjalan sehat itu ditandai dengan dipimpinnya rakyat oleh hikmat kebijaksanaan yang termaktub pada sila ke-4 Pancasila.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan kembali tentang Indonesia ini. Haruslah disusun ulang beberapa aspek pembaharuan di dalam negara ini. Indonesia membutuhkan para pembaharu seperti bung Dahlan. Saya percaya, bahwa sosok seperti beliau bisa dibangkitkan lagi walau tidak harus banyak. Setiap tindakan haruslah dikerjakan karena tindakan itu memang baik untuk dikerjakan, bukan karena tujuan lain selain itu[33].
Dimulai dari setiap individu yang bertindak secara filosofis untuk negara ini pasti akan membuahkan hasil. Karena Allah tidak akan ingkar janji, Ia menjanjikan bahwa perubahan positif bisa diraih asal bangsa itu mau berubah[34]. Tentunya dimulai dari setiap individu[35].
Kejayaan tidak boleh dipahami terjadi pada masa lalu. Kejayaan haruslah dipahami terjadi pada masa depan. Sangat berbahaya apabila setiap warga negara Indonesia memahami sejarah secara regresif[36], karena dengan demikian akan mencegah setiap warga negara sebagai agen-agen pencipta sejarah baru yang produktif. Sejarah membantu kita untuk dapat membuat sebuah perbandingan masa lalu dengan masa kini sehingga kita mampu menyusun dan memperkirakan masa depan.
Menjadi tugas kita bersama untuk bangkit kembali. Indonesia memiliki peluang perubahan. Sebuah bangsa yang bangkit ditandai dengan adanya perubahan yang terjadi, yang tentunya, perubahan itu dapat dirasakan sampai lapisan warga negara paling bawah. Yakni mampu dirasakan oleh setiap keluarga sebagai negara kecil (minor state) di mana segala aktivitas filosofis di dalam keluarga terjaga dengan aman dengan dikepalai oleh seorang filosof.
Adapun peran ibu sebagai pendidikan pertama[37] agar mampu menyeimbangi segala aktivitas filosofis anak dengan aktivitas perasaan yang meliputi kendali emosi, simpati dan empati bahkan kalau bisa telepati.
Sebuah kemerdekaan bukanlah kemerdekaan mutlak sehingga warga negara Indonesia terjerumus pada penyalahgunaan kemerdekaan itu. Waspadalah, bahwa Tuhan senantiasa melihat kita dan jadikan diri kita sebagai tolak ukur dalam berbuat kepada orang lain[38]. Hukum positif mungkin kurang efektif mencegah permasalahan karena ia bersifat menghakimi ketika sudah ada bukti pelanggaran. Hanya akhlak yang mulia[39], yang menjadi tujuan organisasi kami[40], yang dapat membimbing kami di mana pun, kapan pun dan kepada siapa pun.
Terkadang kita harus membatasi diri kita agar orang lain dapat merasakan kebebasan. Karena bagaimanapun juga, yang terjadi di Indonesia saat ini ialah kebebasan orang lain menjadi ancaman bagi kebebasan sebagian orang yang lain. Jangan sampai kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah ini justru menjadi pisau bermata dua yang menyerang balik harga diri bangsa yang berdaulat ini.[╬]
*Oleh yusuf Afrizal (Kabid. Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Tamaddun FAI UMM Periode 2015-2016)
[1] https://modernis.co/2018/09/28/the-beginning-of-the-philosophy/ (diakses pada 28/09/2018)
[2] The Seven Sages of Greece: Solon of Athens, Chilon of Sparta, Periander of Corinth, Bias of Priene, Pittacus of Mytilene, Cleobulus of Lindos, Thales of Miletus.
[3] Logos, reason or logic (akal budi).
[4] Q.S. al-Mulk [67]: 10, selain itu hikmah dari dilarangnya meminum minuman keras disebabkan karena ia mampu merusak akal dan akal ialah karunia berharga tinggi bagi mereka yang menempuh Jalan Penyesuaian ini.
[5] Penyesuaian dalam berpikir menentukan penyesuaian dalam tindakan.
[6] Karena masih belia dengan kondisi akal yang belum terbentuk, lantas anak akan bertanya. Ia belumlah sepenuhnya mampu melakukan tindakan filsafat dalam artian yang sesungguhnya (pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[7] Manusia memiliki akal sebagai pembeda dengan hewan yang apabila gagal menyesuaikan (adaptasi) maka akan mengalami kematian bahkan kepunahan.
[8] Generasi milenial akan menjadi para orangtua yang kualitasnya tentu saja ditentukan pada kebiasaan saat ini.
[9] Apabila anda tidak sepakat dengan pernyataan ini maka hanya ada dua kepastiannya: anda tidak pernah mengenyam pendidikan (di Indonesia) atau anda adalah korban dari pembunuhan nalar kritis di dalam keluarga sehingga anda bukan tipe manusia yang kritis dan kreatif ketika menjalani pendidikan. Bukankah menjaga akal adalah salah satu dari Lima Tujuan (mendesak) Syariah (Maqasid Syariah).
[10] Republik atau Politeia (πολιτεία) bagian buku ke-VI. Sokrates berargumen bahwa dalam sebuah negara kota (polis), seorang filosofer sejati dengan pemahaman segala gagasan akan menyediakan fasilitas untuk keharmonisan kerja sama seluruh warga negara di negara kota tersebut. Philosopher-King haruslah cerdas, dapat dipercaya dan bersedia hidup sederhana. Bagaimana pun juga, kualitas yang demikian sangat langka pada kenyataan hidup mereka, dan sehingga mereka haruslah meneguhkannya melalui pendidikan dan pembelajaran akan Kebaikan.
[11] Metode voting, proses pengambilan suara terbanyak menentukan suatu kebijakan tertentu.
[12] Karena mereka hidup di Indonesia yang demokratis.
[13] Jika keluarga merupakan negara kecil, maka alangkah eloknya negara kecil tersebut dikepalai oleh seorang filosofi. Sehingga segala dan setiap jenis kegiatan filosofis sang anak tidak dibatasi.
[14] Kiai Haji Ahmad Dahlan (1 Agustus 1868 – 23 Februari 1923), merupakan seorang Pembaharu Islam Indonesia (Indonesian Islamic Revivalist). Beliau merupakan murid dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga merupakan guru dari Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama’.
[15] Q.S. al-Ma’un [107], selain itu Wahyu dipahami secara rasional sehingga menjadi sebuah refleksi dalam bergerak. Sebuah pergerakan dilakukan karena memang pergerakan itu baik (disadari dan diakui dari dalam diri) untuk dilakukan, bukan karena faktor lain selain itu.
[16] Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC, merupakan salah satu penyakit menular dan mematikan). Bahwa benar atau tidaknya seorang manusia dalam menjalankan agama, berpengaruh besar terhadap kemajuan sebuah peradaban.
[17] Setiap Filosof memiliki gagasan sesuai dengan zaman ia hidup (dalam rangka penyesuaian), apabila Thales dahulu mengatakan air sebagai bahan dasar dari alam semesta, maka saat ini bukan soal itu lagi. Apabila anda meniru Thales, maka siap-siap anda ditertawakan. Toh, tidak ada salahnya anda mencoba, yang penting berani mencoba.
[18] Murid dari Sokrates, identitas aslinya ialah Aristokles yang artinya ‘dia yang terpilih’; sayap idealistik dari Sokrates.
[19] Pancasila ialah falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemungkinan diambil dari ajaran Pancasila (Lima Moral) dari Siddharta Gautama sang Buddha yang meliputi: jangan membunuh, jangan berbohong, jangan mencuri, jangan berasusila, jangan meminum atau memakan sesuatu yang merusak akal (memabukkan).
[20] Filosof ialah pelaku filsafat, filsafat dalam KBBI berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
[21] Hikmat atau Hikmah dalam KBBI berarti kebijaksanaan.
[22] Kebijaksanaan dari kata bijaksana dalam KBBI berarti selalu menggunakan akal budinya.
[23] Q.S. as-Syuro [42]: 38
[24] Dugaan sementara, jika terbukti maka ia akan menjadi sebuah teori.
[25] Alam Pikiran Yunani, buku karangan bung Hatta, cetakan pertama terbit tahun 1980 oleh penerbit Tintamas, Jakarta.
[26] Perumpamaan sebuah teko tidak akan bisa menuangkan apa-apa sebelum ia diisi dengan sesuatu.
[27] Fallacy sebagai kerancuan berpikir ditandai dengan ketidakcocokan antar premis-premis yang ada sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah.
[28] Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia ialah negara Yogyakarta (sumber: Sekolah Tamaddun oleh Kakanda immawan Raja Sahman Harahap).
[29] Merdeka dalam KBBI berarti bebas atau berdiri sendiri.
[30] Korup berasal dari bahasa Inggris Corrupt yang berarti rusak (corruptible).
[31] Berupa suku, ras dan agama serta berbagai kekayaan alam, budaya dan bahasa (multikultural).
[32] Paskah reformasi hingga hari ini.
[33] Meminjam ajaran Konfusius tentang Ming untuk membantu dalam memahami makna ikhlas atau tulus dalam berbuat. Tertulis bahwa, “Yang menjadi alasan mengapa manusia ulung mencoba masuk ke dalam dunia politik, adalah karena ia memandangnya sebagai hal yang baik, bahkan sekalipun ia benar-benar menyadari bahwa prinsipnya tidak berlaku secara umum” (Untaian Ajaran: XVIII, 7). Kalimat tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut, seseorang melihat sebuah ruang dengan lantai yang kotor dan ia memandang bahwa membersihkan ruangan itu dengan menyapu adalah baik untuk dilakukan. Ia akan lakukan hal itu karena perbuatan itu memang baik untuk dilakukan walaupun orang-orang di sekitarnya tidak peduli dengan perbuatannya.
[34] Q.S. ar-Ra’d [13]: 11
[35] Maka setiap individu pada prinsipnya harus menerapkan amar ma’ruf (mendorong kebaikan yang akan timbul dan memelihara kebaikan yang sedang timbul) dan nahi munkar (mencegah keburukan yang akan timbul dan menumpas keburukan yang sedang timbul) baik dalam dimensi tindakan maupun pikiran serta batin (akal budi). Bahwa toleransi memiliki batas dalam mekanismenya, toleransi haruslah intoleran terhadap keburukan dan tidak boleh toleransi mutlak yang menyebabkan keburukan timbul dengan memanfaatkan kemutlakan dari toleransi tersebut (prinsip yang sama berlaku pada alur pembahasan tulisan ini).
[36] Memahami perubahan zaman ditandai dengan adanya masalah-masalah yang muncul pada waktunya. Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut seharusnya dengan cara-cara baru yang dipersiapkan sesuai dengan masalah-masalah yang tersedia.
[37] Madrasah al-Ula, “al-ummu madrasah al-ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban tayyiban al-a’raq.”
[38] Meminjam ajaran Konfusius tentang Ren untuk membantu memahami akhlak dalam upaya menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur berperilaku kepada orang lain. Bahwa Ren terbagi menjadi dua: Pertama tentang Chung, “Lakukanlah kepada orang lain sesuatu yang kamu sendiri ingin orang lain melakukannya untukmu”. Kedua tentang Shu, “Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya padamu”.
[39] Muhammad berarti orang yang mulia, akhlak mulia mengacu pada akhlak seorang Muhammad (The Last Messenger and The Final Prophet of Allah).
[40] Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah.